Hujan dan Bue

Irama hujan mencipta melodi saat bertubrukan dengan atap, dengan air yang menggenang, dengan kaca jendela, atau penyebab kembali terkenangnya memoriku tentang kamu. Ketika dulu kamu mengantarku pulang sekolah hingga seragam putih abu-abuku tak luput dari guyuran hujan. Saat itu rintik, jadi memang tak sampai basah. Hanya membuatku menggigil.
Lalu di kejauhan Ibuku datang membawa dua payung. Satu beliau pakai, dan satu lagi terlipat rapi di salah satu tangannya. Bahkan aku sudah lupa, di tangan kanan atau tangan kirinya. Bue terlihat kurus dan memakai celana pendek. Kakinya jenjang dan putih. Seperti kulit kakiku, kata orang-orang, cuma aku dari tiga anak Bue yang mewarisi kulit putihnya. Karena memang kulit kedua kakakku gelap eksotis. Aku saat itu bangga karenanya, aku memiliki kesamaan dengan wanita tangguh idolaku.
Ketika Bue kian dekat, aku buru-buru menghampirinya agar Bue tak tahu jika aku di antar kamu. waktu itu, kita masih sembunyi-sembunyi. Entah mengapa. Padahal Bue juga tak pernah bilang apa pun soal pacaran. Apakah aku boleh pacaran atau tidak saat masih kelas 2 SMA. Dan yang sebenarnya, aku sudah sama kamu ketika kelas 1 SMA. Tapi, aku hanya takut. Takut membebani Bue. Takut jika perihal anaknya pacaran akan membuatnya cemas. Bue sudah punya banyak masalah. Bebannya sudah berat, menanggung biaya sekolah ketiga anaknya sendirian. Dan dengan masalah kakak pertamaku ketika dia pacaran. Jadi, aku tidak ingin membebaninya lagi. Aku bisa mengatasi ini sendiri.
Sekarang, ketika ingatan itu kembali dan menjadi bahan obrolan kita. Kamu selalu berkata, “andai waktu itu aku berani bertemu dengan Ibu kamu. Sekarang beliau pasti sudah mengenalku. Dan tak akan bingung jika mengunjungi makamnya. Siapa laki-laki yang dibawa puteri bungsuku setiap datang kemari?” dan ini bikin aku senyum dengan mata berkaca-kaca. Karena aku yakin, Bue sudah lebih dari mengenal kamu. Hey! Selama lima tahun ini, kamu selalu menemaniku mengunjungi Bue.
Kenapa tiba-tiba aku teringat kenangan ini? Mungkin karena sekarang aku sakit dan sedang merindukan beliau. Wanita tangguh idolaku. Bagiku pahlawan itu bukan ayah seperti kebanyakan keluarga normal. Bagiku, pahlawanku ya Ibuku. Duniaku. Poros edarku. Ketika beliau tiada dulu, akibat diabetes yang menggerogoti tubuhnya dari dalam. Aku terguncang. Tak ada lagi pelukan hangat ketika beliau pulang kampung.
Ah, pelukan itu…. Setiap malam ketika aku tidur. Tiba-tiba ada lengan yang merengkuhku. Aku menyukainya. Tapi ketika usia beranjak remaja, aku suka diam-diam memindahkan tangan hangatmu. Lalu protes, “aku udah gede Buk, tangan Bue juga berat.” Tapi protes itu sama sekali tak digubrisnya. Bue tetap memelukku dalam setiap tidurku ketika beliau di rumah.
Lalu, anak pertama kakakku lahir ke dunia. Fajar. Dan ketika Bue pulang, tidurku tak lagi terganggu dengan berat lengannya. Harusnya aku senang. Ini kan yang aku ingin? Tapi, tidak! Aku cemburu ketika lengan yang seharusnya memelukku, malah memeluk keponakan baruku.
Aku rindu Buk. Rindu terganggu dengan lengan beratmu lagi. Rindu aroma keringatmu yang khas. Rindu masakanmu yang tak ada duanya. Terutama bemo dengan kacang polong kesukaanku. Setiap pulang kampung beliau tak pernah absen membikin makanan yang bikin mulut lelah mengunyah itu.
Begitu banyak kenangan yang masih melekat. Dan aku tak ingin melupakannya. Mungkin nantinya semua kenangan itu perlahan akan aku rajut dalam blog ini. Ingin sosok beliau tak pernah padam. Mencipta senyum dan menghangatkan hati yang dingin. Semoga Bue bahagia di sisi Allah.

Posting Komentar untuk "Hujan dan Bue"