Rania, Live Your Life

Bangun tidur, Rania bergegas memasak sarapan, sekalian membuat bekal untuk ke kantor. Sebenarnya, Rania nggak suka bangun pagi, apalagi memasak. Tapi, semenjak sepuluh tahun lalu. Ketika statusnya berubah dari lajang menjadi sudah menikah, hidupnya pun berubah.

Dion, suaminya yang umurnya sebaya dengannya itu nggak suka jajan sembarangan. Untuk sarapan dan makan siang, Rania kebagian tugas untuk memasak. Lalu Dion yang akan cuci piring, karena Rania nggak suka jika tangannya kering dan kasar akibat sabun cuci piring.

Untuk sarapan pagi ini, Rania membuat nasi goreng ayam kesukaan Dion. Daging yang Rania pakai hanya daging fillet bagian dada. Suaminya adalah orang yang sangat membenci lemak jahat. Tak heran, profesinya sebagai dokter spesialis jantung, membuatnya antipati dengan makanan tak sehat.

“Jantung sekecil itu sudah bekerja keras mengalirkan darah ke seluruh tubuh, jangan bebani lagi dengan lemak-lemak yang akan menyumbat pembuluh darahmu.”

Kata-kata itu berhasil mengurungkan niat Rania ketika ia ingin makan sembarangan. Bukan karena agar badan sehat, tapi Rania kasihan pada jantungnya. Rania memang orang yang lembut, mudah menangis karenal hal remeh, juga gampang tersentuh karena hal kecil.

Nasi goreng yang wangi, dengan asap mengepul sudah terhidang di meja. Tentu saja nasi goreng ini tanpa minyak. Rania memasaknya dengan wajan anti lengket yang harganya lumayan menguras kantong.

Sebelum membangunkan suaminya, Rania membuat jeruk peras sebagai teman si nasi goreng. Dion suka kopi, tapi suaminya itu nggak suka jika diminum saat pagi hari.

Setelah semua tertata rapi, Rania berlari kecil ke kamarnya. “Honey, sarapan yuk …” Kata Rania dengan tangan yang sibuk menyingkap tirai. Mereka berdua memang lebih suka sarapan sebelum mandi, jadi tak perlu gosok gigi dua kali setiap pagi.

“Aku bikin nasi goreng ayam, huh! Emang bisa ya goreng nasi tanpa minyak disebut nasi goreng? Bukan nasi …” Kalimat Rania terhenti ketika tubuhnya menghadap tempat tidur. Kakinya gemetar, tangannya reflek menggapai apa saja di dekatnya sebagai tumpuan. Rasa nyeri menjalari dadanya, menyebar ke seluruh tubuh. Membuatnya sulit bernapas. Air mata Rania luruh diikuti isak tangis yang lolos. Buku-buku jarinya memutih akibat terlalu keras mencengkeram tirai.

Tempat tidur itu kosong. Dingin. Sepi. Tak ada suaminya. Tak ada Dion. Rania lupa, jika Dion tak lagi ada dalam hidupnya. Lelaki itu … meninggalkannya.


“Mbak Rania, Mbak ….” Karena tak kunjung menjawab, Lusi menyenggol tungkai Rania di bawah meja dengan kakinya.

Rania berdehem, sadar telah melakukan kesalahan fatal. “Maaf …”

“Kita lagi bahas masalah penting! Dan kamu malah ngelamun?” Wajah Pak Roy merah padam. Membuat Rania semakin merasa bersalah.

“Dan masalah ini tanggung jawab kamu, Rania!”

Alvian, yang duduk di sisi kanan Rania berdehem, “Saya punya rencana Pak, bagaimana kalau barang yang salah order itu, kita diskon biar cepat habis? Jadi kita nggak merugi buat penyimpanan barang yang nggak perlu. Tim marketing akan mengatur campaign ini di media sosial.” Alvian melirik Rania khawatir, sahabatnya itu terlihat sangat kacau dengan mata bengkak dan wajah kusut.

Di tempat duduknya yang berada di paling ujung depan, Pak Roy mengetukkan pulpennya di meja. Terlihat berpikir.

“Dengan diskon pun kita juga masih untung sedikit Pak. At least, kita nggak minus.” Alvian meneruskan, berusaha meyakinkan.

“Oke, tapi kita nggak bisa nunggu lama. Begitu barang tiba harus sudah habis dalam waktu seminggu. Karena minggu depannya akan ada barang lain masuk. Mau ditaruh di mana kalau gudang kita penuh?”

“Saya optimis bisa Pak.”

“Rania, kamu harus berterimakasih dengan Tim Marketing, kamu juga harus membantu mereka. Bagaimanapun mereka yang membereskan kekacauan kamu!” Pak Roy membanting dokumen yang sejak tadi ia pegang ke depan Rania, lalu melenggang keluar ruangan diakhiri dengan bantingan pintu.

Di tempat duduknya, Rania tak kuasa menahan air matanya. Ia kembali tergugu. Dengan kedua tangan menutup wajahnya.

Lusi memeluk Rania menenangkan, tangannya mengusap lengan Rania perlahan. Lalu pandangannya bertemu dengan Alvian. Cowok itu juga terlihat frustasi dan sama bingungnya harus bagaimana.

Setelah agak tenang, Lusi mengajak Rania ke toilet untuk cuci muka. Lalu membuatkannya teh manis panas. Agar atasannya itu merasa lebih baik.

“Makasih ya, Lus.” Suara Rania serak. Dan Rania benci itu.

“Sama-sama Mbak. Maaf ya nggak bisa ngasih waktu buat Mbak Rania nenangin diri lama-lama. Habis ini, kita harus meeting dengan timnya Pak Alvian untuk membahas masalah tadi. Sebenarnya Pak Alvian nggak papa kalau kita nggak ikut, tapi, Pak Roy …”

“Aku bisa kok Lus, tolong siapin dokumennya ya. Tolong print juga data yang aku kasih kamu kemarin.”

Dalam diam Lusi mengikuti instruksi Rania. Selama tiga tahun bekerja di bawah Rania, tak pernah sekali pun Lusi melihat atasannya itu rapuh. Rania adalah perempuan paling tangguh yang pernah dikenalnya. Rania terlihat kokoh sekaligus lembut di waktu yang bersamaan. Posisinya sebagai Purchasing Manager yang selalu dituntut untuk teliti juga cepat. Tak pernah sekali pun Rania kecolongan. Tapi, akhir-akhir ini Rania berbeda. Dia seperti orang yang telah kehilangan tujuan hidup. Semuanya dimulai saat suaminya meninggalkannya demi wanita lain. Itu adalah desas-desus yang Lusi dengar. Orang-orang kantor ramai membicarakannya ketika salah satu teman kantornya bertemu dengan Pak Dion di sebuah restauran atap, daerah Jakarta Pusat, dokter itu sedang makan malam romantis dengan seorang wanita.

Katanya sih, wanita itu nggak secantik Rania. Tapi, yang jadi pergunjingan bukan itu, yaitu perihal Rania yang tak kunjung memiliki momongan, bahkan setelah sewindu menikah.


Perut Rania sangat lapar. Ia memang belum makan siang tadi. Nafsu makannya hilang berkat omelan Pak Roy, baru kali ini ia melihat Pak Roy begitu murka. Kesalahannya memang nggak kecil. Ia salah order laptop pesanan sebuah perusahaan BUMN, spesifikasi yang Rania kirimkan adalah spesifikasi untuk client lain. Dan sialnya, client itu hanya butuh beberapa, nggak sebanyak yang Rania order.

“Mau pulang bareng?”

“Boleh, gue juga males nyetir pas lagi laper.” Rania bergegas mematikan PC-nya.

“Pas banget, gue juga laper. Makan dulu yuk, mau makan apa?”

“Nasi bebek yang pedas?”

Alvian mengerutkan dahinya, biasanya Rania nggak akan memilih makanan yang berminyak dan pedas. Itu, semenjak dia menikah. Kalau dulu, seingatnya Rania penggila pedas. “Oke.” Walau dirinya nggak bisa makan pedas. Nggak masalah, yang penting sahabatnya ini merasa lebih baik.

Alvian memutuskan makan nasi bebek di depan kantor. Kalau sudah sore banyak sekali tenda-tenda dan berbagai macam gerobak makanan gelar lapak. Dan di salah satu sudut sebelah timur ada penjual nasi bebek yang enak.

Nggak tanggung-tanggung, Rania menghabiskan dua potong bebek dengan dua piring nasi. Sambalnya sudah entah berapa kali nambah, sampai persediaan sambal di meja dihabiskan oleh Rania. Peluhnya bercucuran, bibirnya merona merah, hidungnya berair. Sudah habis dua gelas es jeruk, teh botol Alvian pun Rania habiskan.

Alvian tertawa melihat kondisi Rania yang berantakan. Blusnya basah terkena keringat, rambut panjangnya digelung asal-asalan pakai pulpen. Bibirnya manyun-manyun kepedasan, hidungnya merah dengan ingus yang sebentar-sebentar ia susut dengan tisu. Mau mampir ke La Biere?” Alvian menawari, “jadilah diri lo sendiri Ra. Bebasin! Jangan lagi terkungkung.”

Rania tertawa, lalu menyomot lagi teh botol Alvian dengan tangan kotor berminyak, sekali teguk Rania menandaskan isinya, ini adalah teh botol kedua Alvian. “Oke. Gue juga capek begini terus …” Rania kepedasan, “Mas, minta es jeruknya satu lagi ya.”

Alvian kembali tertawa, ia lega, sahabatnya mulai kembali waras. Rania adalah sahabat masa kecilnya, bahkan dari TK mereka sudah bareng. Sampai sekarang pun mereka bekerja di perusahaan yang sama. Menurut Alvian, Rania bukanlah wanita yang pemilih makanan, ia akan memakan apa yang menurutnya enak. Berantakan, easy going, nggak terlalu memikirkan masa depan dan nggak jaim. Bahkan Rania sering menasehati Alvian untuk menikmati hidup dan jangan terlalu memikirkan masa depan. “YOLO! You only live once!”

Tapi, Rania mulai berubah ketika Dion datang. Dion adalah lelaki yang mampu menyakinkan Rania untuk menikah. Cewek yang dulunya nggak suka berkomitmen memutuskan untuk menikah. Alvian pikir ini sebuah langkah besar, dan Rania berhasil menjalaninya hingga sepuluh tahun. Walau dengan taruhan harus kehilangan jati dirinya.
Dion adalah lelaki yang mampu mengubah Rania. Mematikan kebiasaan buruknya hingga Rania menjelma menjadi wanita yang Alvian nggak kenal. Sangat feminin, rajin, hidup sehat, dan tanpa lelah menjalani rutinitas hidupnya yang serba teratur. Bahkan Rania melamar di kantornya menjadi seorang Purchasing Manager, pekerjaan yang menuntut ketelitian tinggi.

Saat melihat Rania muncul di kantornya untuk interview, Alvian kaget. Sudah sejak SMA dia tak bertemu lagi dengannya. Karena memang kampus mereka beda kota. Saat itu, Alvian senang sekali kembali bertemu dengan Rania. Ia ingin melakukan hal-hal gila lagi dengannya, terjun lenting misalnya. Tapi sinar semangat di mata Alvian redup ketika melihat sebuah cincin melingkari jari manis Rania.

Tapi kini, setelah genap setengah tahun berlalu, sejak ia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Rania-nya kembali.

“Gue mau resign.” Kata Rania begitu masuk mobil.

“Hah? Serius lo?”

Wajah Rania kemerahan menahan amarah, “Iya, gue udah nggak tahan akhir-akhir ini selalu bikin kesalahan. Gue muak sama omelannya Pak Roy! Gue capek, gue pengin istirahat Vi. Gue kangen jalan-jalan. Shit!”

Alvian menyalakan mobilnya, lalu perlahan membawanya keluar dari area parkir. “Mau jalan sama gue?”

“Kemana?”

Damn! Pijar itu, pijar semangat di mata Rania yang sudah lama sekali nggak Alvian lihat. Pijar yang dulu membuatnya jatuh cinta mati-matian pada gadis ini. Tapi Alvian tak pernah berani mengungkapkannya, ia takut jika persahabatan mereka akan jadi berbeda dan berakhir saling menyakiti. Tapi kini setelah pijar itu kembali muncul, Alvian nggak akan membuang kesempatannya lagi. Kali ini, Alvian nggak akan takut.

“Ra, gue …”

Melihat gelagat aneh dari sahabatnya itu, Rania mulai merasa nggak enak. Dan dia belum siap untuk sesuatu yang kini sedang sangat dihindarinya. “Vi, gue sekarang sadar,” dengan cepat Rania memotong.

“Kalau single itu lebih bisa bikin happy. Dan gue pengin menikmati itu. Gue pengin jadi diri gue sendiri, tanpa memikirkan perasaan orang lain,” lanjutnya.

Alvian menelan ludah dengan susah payah, pegangannya pada kemudi menguat. Sekali lagi ia akan menjomblo untuk sekian lama. “I’m single and very happy,” rapalnya dalam hati.

Posting Komentar untuk "Rania, Live Your Life"